Mahasiswa Sebagai Calon Pemimpin Bangsa Masa Depan (Antara Harapan Dan Kenyataan)

261540_3961301038004_1077120199_n

Mahasiswa merupakan suatu elemen masyarakat yang unik. Jumlahnya tidak terlalu banyak, namun sejarah menunjukkan bahwa dinamika bangsa ini tidak lepas dari peran mahasiswa. Walaupun zaman terus bergerak dan berubah, namun tetap ada yang tidak berubah dari mahasiswa, yaitu semangat dan idealisme. Semangat yang tetap berkobar terpatri dalam diri mahasiswa, semangat yang mendasari perbuatan untuk melakukan perubahan-perubahan atas keadaan yang dianggapnya tidak adil. Mimpi-mimpi besar akan bangsanya. Intuisi dan hati kecilnya akan selalu menyerukan idealisme. Mahasiswa tahu, ia harus berbuat sesuatu untuk masyarakat, bangsa dan Negaranya.

Sejarah mencatat dengan tinta emas, perjuangan mahasiswa dalam memerangi ketidakadilan. Sejarah juga mencatat bahwa perjuangan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari peran mahasiswa dan pergerakan mahasiswa sebagai tempat lahirnya para tokoh dan pemimpin bangsa.

Apabila kita menengok ke belakang, kebangkitan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda dimotori oleh para mahasiswa STOVIA. Demikian juga dengan Soekarno dan Hatta, Proklamator Kemerdekaan RI merupakan tokoh pergerakan mahasiswa. Ketika pemerintahan Soekarno mulai tidak stabil, karena situasi politik yang memanas pada tahun 1966, mahasiswa tampil ke depan dengan konsep TRITURA yang akhirnya melahirkan Orde Baru. Demikian pula, seiring dengan merebaknya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Baru, mahasiswa memelopori perubahan yang kemudian melahirkan Reformasi.

Dari gambaran diatas tentu tidaklah salah bila dikatakan bahwa mahasiswa adalah harapan masa depan bangsa. Mahasiswa merupakan orang-orang yang nantinya diharapkan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa ini dengan semangat idealismenya. Namun karena menyadari akan posisi strategisnya, mahasiswa mulai mencari cara guna mengasah kemampuanya atau-pun mengaplikasikan kemampuanya. Hal ini pada umunya dilakukan dengan mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan di berbagai organisasi kemahasiswaan baik di dalam maupun diluar kampus.

Namun ketika mahasiswa mulai masuk dalam organisasi-organisasi tersebut mulai timbul suatu masalah, yaitu apakah mahasiswa masih dapat mempertahankan idealismenya? Apakah mahasiswa tersebut dapat tetap dapat bergerak dalam fungsi sosialnya sebagai agent of change, moral force,dan iron stock?. Sadar atau tanpa kita sadari kondisi organisasi-organisasi di kampus bukanlah suatu kondisi yang ideal seperti yang kita harapkan. Organisasi-organisasi mahasiswa kini mulai dipenuhi dengan kepentingan-kepentingan, baik kepentingan ideologi tertentu, kepentingan organisasi masyarakat tertentu, bahkan kepentingan partai-partai politik tertentu.

Bahkan kadang antara organisasi-oragnisasi kemahasiswaan dengan kepentingan yang beberbeda saling menjatuhkan untuk mendapatkan kekuasaan tertentu seperti Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa, ketua dan anggota Badan Legislatif Mahasiswa, ataupun ketua Unit-Unit Kegiatan Mahasiwa. Hal ini pada umumnya dikarenakan dengan posisi-posisi strategis tersebut ia dapat menginternalisasikan kepentingannya kedalam suatu organisasi dan ini merupakan langkah kaderesasi yang efektif guna mengembangkan kepentingan organisasinya dan langkah regenerasi bagi organisasi tersebut. Seperti inikah mahasiswa yang idealis ? Pantaskah mahasiswa semacam ini disebut sebagai agent of change, moral force, ataupun iron stock ?

Dalam praktek dibeberapa kampus kepentingan-kepentingan yang membelengu mahasiswa ini pada umunya berasal dari organisasi-organisasi mahasiswa eksternal (ORMEK), yang pada umunya merupakan kepanjangan tangan dari beberapa organisasi-organisasi masyarakat (ORMAS), bahkan tidak sedikit yang merupakan kepanjangan dari partai-partai politik. Ini sangat memprihatinkan dimana seharusnya mahasiswa harus tetap dalam idealismenya, yang seharusnya harus selalu mengatakan kebenaran kini ia harus rela menyerahkan idealismenya hanya untuk kepentigan sesaat. Dalam politik praktis ada sebuah istilah bahwa “tidak ada kawan yang abadi yang ada adalah kepentingan yang abadi” dimana dapat dikatakan bahwa kepentingan partai atau golongan tertentu diatas segala-galanya. Dan hal ini-pun kini sudah mulai masuk dalam kehidupan mahasiswa, dimana mahasiswa yang mengharapkan posisi-posisi strategis dalam organisasi-organisasi mahasiswa. Hal ini sangatlah terasa ketika di dalam suatu kampus sudah memasuki masa Pemilu Raya (PEMIRA), dimana organisasi-organisasi mahasiswa khususnya mahasiawa eksternal akan bersusaha memasukkan kader-kader terbaikanya untuk berada pada posisi strategis seperti Presiden BEM, Ketua dan anggota Badan Legislatif mahasiswa.

Dalam PEMIRA akan muncul strategi-strategi politik layaknya politik praktis pada umunya, seperti kampanye, pemasangan panflet dan spanduk-spanduk untuk memilih para calon yang bersifat masif, dan lain sebgainya. Yang kini patut ditanyakan dari mana dana yang mereka peroleh? Karena hal itu tentulah membutuhkan dana yang besar. Yang sangat disayangkan dalam proses demokrasi di kampus ini akan mulai muncul dan tampak egoisme antara golongan-golongan mahasiswa dengan berbeda ideogi yang berujung saling melemahkan antar golongan, saling bermusuhan, bahkan golongan-golongan yang kalah akan memusuhi golongan yang menang dengan berbagai cara seperti tidak menerima keberadaan pemenag PEMIRA, tidak mau menerima anggota golongan yang kalah dalam struktur kepengurusan organisasi, menggunakan cara-cara curang dan lainnya. Sekarang apakah bedanya kita dengan orang-orang yang duduk di Lembaga Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang selalu jadi obyek kritikan kita?. Bukankah kita (mahasiswa) sama saja degan mereka yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri dan kepentingan kelompok mereka?. Apakah kita (mahsiswa) layak dikatakan sebagai agen perubahan, ketika sikap dan kita kita meniru tingkah polah mereka para politikus yang memperumit masalah bangsa ini.

Sesunguhnya sangatlah disayangkan mahasiswa yang diharapkan sebagai harapan masa depan bangsa yang menghadapi begitu banyak masalah, tapi belum mampu memberikan jawaban atas masalah tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan masih terkotak-kotaknya mahasiswa terutama mereka yang mengatakan dirinya sebagai aktivis mahasiswa. Padahal dari para aktivis mahasiswa inilah kritisasi dari kampus muncul, dari para aktivis mahasiswa inilah kegiatan-kegiatan mahasiswa berjalan, dan dari para aktivis mahasiswa ini pulalah konsepsi-konsepsi tentang masa depan bangsa ini dilahirkan.

Sebenarnya kita (mahasiswa) harusnya belajar dari pengalaman masa lalu dimana bangsa ini tidak akan pernah dapat merdeka ketika bangsa ini masih terkotak-kotak perjuangannya yang bersifat kedaerahan. Bukankah seharusnya kita (mahasiswa) belajar kenapa Belanda dapat menjajah kita lebih dari 350 tahun?, kalau buakan karena begitu mudahnya kita untuk dipecah belah. Buaknkah seharusnya kita menyadari kenapa dalam lambang negara kita garuda tertulis kata “Bhineka Tunggal Ika”, melainkan karena begitu beragamnya suku, agama, kepercayaan, adat isti adat, bahkan kepentingan. Sebenarnya “Bhineka Tunggal Ika” adalah sebuah pengingat bagi kita semua bahwa kita terlahir berbeda dan kita haruslah terus bersatu dalam rangka menjaga bangsa Indonesia yang kita cintai ini, serta terus secara bersama-sama tanpa memandang kepentingan apapun membangun negeri ini menjadi lebih baik. Namun sebenarnya sangatlah wajar bila kini keberadaan “Bhineka Tunggal Ika” dan Pancasila mulai dilupakan oleh sebagian golongan ini karena mereka mulai mempertanyakan ke“shahihhan” dari keduanya, dengan alasan beraneka ragam. Namun sesungguhnya dalam makna “Bhineka Tunggal Ika” dan Pancasila terdapat banyak unsur yang dapat mewakili semua kepentingan, golongan, maupun ideologi.

Seharusnya mulai saat ini kita muali menyadari bahwa kita sebagai mahasiswa memeiliki posisi yang strategis terhadap perubahan kondisi bangsa yang sedang carut-marut ini. Seharusnya kita sebagai mahasiswa dapat mempertahankan idelaisme kita. Karena kita merupakan pemimpin-pemimpin yang nantinya akan menentukan kearah mana bangsa ini mau dibawa. Janganlah kita hanya menjadi pemimpi-pemimpi yang terus mengharapkan bangsa yang baik, bangsa yang maju, bangsa yang berdaulat, ketika kita tidak sedikitpun melakukan perubahan melainkan hanya melanjutkan cara-cara lama yang terbukti hanya memperumit masalah, tanpa solusi yang berarti.

Soe Hok Gie seorang aktivis mahasiswa 1966 dalam catatan hariannya pernah menulis “ Kita, generasi kita, ditugaskan untuk memberantas generasi-generasi tua yang mengacau. Genersai kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua, kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan indonesia”. Di lain kesempatan ia juga pernah menulis “Bidang seorang sarjana adalah berpikir dan mencipta yang baru. Mereka harus selalu bebas dari segala arus-arus masyarakat yang kacau. Seharusnya mereka bisa berpikir tenang karena predikat kesarjanaan itu.” Dari kutipan catatan harian Soe Hok Gie tersebut selayaknya kita menyadari bahwa kita mahasiswa generasi muda bangsa indonesia nantinya merupakan pemecah masalah bangsa ini sekaligus pemimpin-pemimpin bangsa Indonesia, selain itu kita (mahasiswa) sebagai kaum intelektual haruslah berdiri pada posisi kita selaku mahasiswa yang bebas dari kepentingan, yang harus tetap berlandaskan kepada kebenaran, kepada idelaisme. Karena hanya kepada para pemuda khusunya mahasiswa-mahasiswa yang masih memiliki idealisme-lah kita berharap ditengah negara yang carut-marut semacam ini.

Dan mulai saat inilah kita (mahasiswa) terus belajar yang terbaik dan berbuat sesuatu bagi bangsanya tanpa adanya lagi sekat-sekat kepentingan. Karena pada hakikatnya kita berbeda tapi kita telah disatukan sebagai sebuah bangsa bangsa yang besar, bangsa yang terdiri dari keanekaragaman, yaitu adalah bangsa INDONESIA.

#Tulisan ini dipublikasikan di dalam buku “Mahasiswa Mengagas Kebangkitan Indonesia” yang diterbitkan BEM UNAIR 2012.

* Diposting kembali sebagai sebuah ungkapan “generasi yang kecewa” atas politik ala mahasiswa hari ini.

Leave a comment